Minggu, 11 April 2021

Makalah Mata Kuliah Pengantar ABK

 

ANAK DENGAN KESULITAN BELAJAR

(Children with Learning Disabilities)

Dosen Pengampu Dr. Asep Supena, M.Psi

 

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Mata Kuliah Pengantar Anak Berkebutuhan Khusus

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Disusun oleh:

 

Robiatul Munajah           991910210016

 

 

PROGRAM PASCA SARJANA PENDIDIKAN DASAR

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

2020


DAFTAR ISI

COVER

 

DAFTAR ISI

i

BAB      I       PENDAHULUAN

1

 

 

A.  Latar Belakang ………………………………………………

1

 

 

B.  Rumusan Masalah …………………………………………...

2

 

 

C.  Tujuan ………………………………………………………..

3

BAB      I I      PEMBAHASAN

5

 

 

A.    Definisi Anak dengan Kesulitan Belajar …………………….

5

 

 

B.     Klasifikasi Anak dengan Kesulitan Belajar ………………….

11

 

 

C.     Faktor penyebab Anak dengan Kesulitan Belajar …………...

14

 

 

D.    Karakteristik Anak dengan Kesulitan Belajar (fisik, motorik, kognitif, bahasa, emosi, sosial, perilaku) ……………………

15

 

 

E.     Cara mengidentifikasi Anak dengan Kesulitan Belajar ……..

17

 

 

F.      Populasi atau Prevalensi Anak dengan Kesulitan Belajar …...

19

 

 

G.    Hambatan yang ada pada Anak dengan Kesulitan Belajar …..

21

 

 

H.    Kebutuhan khusus Anak dengan Kesulitan Belajar …………

23

 

 

I.        Pendidikan untuk Anak dengan Kesulitan Belajar …………..

25

 

 

J.       Pendidikan (berbagai model/pendekatan/lingkungan Pendidikan untuk Anak dengan Kesulitan Belajar) …………

26

 

 

K.    Metode, strategi, prinsip layanan pembelajaran untuk Anak dengan Kesulitan Belajar …………………………………….

27

 

 

L.     Lingkungan (prasarana/sarana) yang cocok (accecible) bagi Anak dengan Kesulitan Belajar ……………………………..

30

 

 

M.   Peralatan/media khusus untuk membantu Anak dengan Kesulitan Belajar dalam belajar dan kehidupan …………….

32


 

 

 

N.    Research (hasil penelitian) tentang Anak dengan Kesulitan Belajar ………………………………………………………

35

BAB III  SIMPULAN

43

DAFTAR PUSTAKA  ………………………………………………………..

44

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Guru dan siswa memiliki peran yang tidak terpisahkan dalam proses pembelajaran. Belajar dapat dijalankan dengan baik jika mereka memiliki kesadaran belajar dan mengajar satu sama lain. Namun kadang-kadang ada masalah yang datang dari siswa dan guru tidak menyadarinya. Kesulitan belajar merupakan masalah yang ditemukan siswa dan membutuhkan perhatian khusus dari guru.

Kesulitan belajar bervariasi dan mencakup kelompok gangguan heterogen. Seorang anak dengan gangguan kesulitan belajar mungkin tidak memiliki jenis masalah pembelajaran seperti anak lain dengan kesulitan belajar lainnya. Friend mengungkapkan bahwa seseorang dengan kesulitan belajar mungkin memiliki masalah dengan memahami matematika. Anak lain mungkin mengalami kesulitan memahami apa yang orang katakan. Oleh karena itu, tidak ada profil tunggal individu dengan kesulitan belajar dapat akurat karena perbedaan antar-individu dalam gangguan (Suryandari, 2020).

Anak dengan kesulitan belajar adalah salah satu gangguan yang ditangani di sekolah inklusi. Anak dengan gangguan ini menunjukkan pemrosesan informasi yang lemah. Pemrosesan informasi dapat menjadi tantangan baik dari segi kemampuan sosial seperti memahami bahasa sarkasme, mengartikan bahasa tubuh atau mengingat kembali informasi (Bauminger, Edelsztein, & Morash, 2005). Anak dengan gangguan ini memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata namun memiliki kesulitan dalam membaca, menulis dan menghitung. Hal yang terganggu pada anak dengan learning disability adalah persepsi yang salah mengenai bentuk huruf, bunyi huruf ataupun angka (Ontario Rusmono, 2019).

Guru mendapati perilaku dari siswa berkebutuhan khusus membawa beban dalam proses pengajarannya. Komariyah, Bagaskorowati, dan Lianty (2017) mengatakan bahwa pengetahuan guru mengenai siswa berkebutuhan khusus belum merata sehingga penanganan yang diberikan oleh guru juga tidak sama antara satu guru dengan yang lain.

Guru dari lulusan pendidikan luar biasa juga dinilai masih memiliki kemampuan yang kurang dalam menangani siswa berkebutuhan khusus. Guru masih menyamaratakan metode pengajaran siswa berkebutuhan khusus dengan siswa reguler (Keswara, 2013). Ketidakmampuan guru dalam menangani siswa berkebutuhan khusus meliputi profesionalisme guru yaitu masih ada guru yang latar belakang pendidikannya tidak berasal dari pendidikan luar biasa, masih rendahnya kompetensi guru dalam merencanakan program pendidikan inklusi.

Berdasarkan pernyataan diatas maka dapat dimaknai bahwa perlu bagi pendidik atau guru mengetahui dan memahami bagaimana menangani anak dengan kesulitan belajar pada sekolah dasar inklusi. Dengan ditulisnya makalah yang mengkaji anak dengan kesulitan belajar, semoga dapat memberikan manfaat bagi guru yang menangani anak kesulitan belajar di sekolah  Dasar inklusi.

       

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa definisi dari anak dengan kesulitan belajar menurut para ahli?

2.      Bagaimana klasifikasi untuk anak dengan kesulitan belajar?

3.      Apa faktor penyebab pada anak dengan kesulitan belajar?

4.      Bagaimana karakteristik (fisik, motorik, kognitif, bahasa, emosi, sosial, perilaku) anak dengan kesulitan belajar?

5.      Bagaimana cara mengidentifikasi/mendiagnosis anak dengan kesulitan belajar?

6.      Berapa populasi atau prevalensi anak dengan kesulitan belajar?

7.      Apa kekurangan/ketidakmampuan/hambatan yang ada pada anak dengan kesulitan belajar?

8.      Apa kebutuhan khusus anak dengan kesulitan belajar?

9.      Apakah anak dengan kesulitan belajar perlu Pendidikan?

10.  Dimana anak dengan kesulitan belajar dapat memperoleh Pendidikan ?

11.  Bagaimana metode, strategi, prinsip layanan pembelajaran untuk anak dengan kesulitan belajar?

12.  Bagaimana lingkungan (prasarana/sarana) yang harus disiapkan/ditata supaya cocok (accecible) untuk anak dengan kesulitan belajar?

13.  Adakah peralatan/media khusus untuk membantu anak dengan kesulitan belajar dalam belajar atau kehidupan?

14.  Adakah research (hasil penelitian) terakhir tentang anak dengan kesulitan belajar?

 

C.    Tujuan

1.      Untuk mengetahui dan memahami definisi dari anak dengan kesulitan belajar menurut para ahli.

2.      Untuk mengetahui dan memahami klasifikasi untuk anak dengan kesulitan belajar.

3.      Untuk mengetahui dan memahami faktor penyebab pada anak dengan kesulitan belajar.

4.      Untuk mengetahui dan memahami karakteristik (fisik, motorik, kognitif, bahasa, emosi, sosial, perilaku) anak dengan kesulitan belajar.

5.      Untuk mengetahui dan memahami cara mengidentifikasi/mendiagnosis anak dengan kesulitan belajar.

6.      Untuk mengetahui dan memahami populasi atau prevalensi anak dengan kesulitan belajar.

7.      Untuk mengetahui dan memahami kekurangan/ketidakmampuan/ hambatan yang ada pada anak dengan kesulitan belajar.

8.      Untuk mengetahui dan memahami kebutuhan khusus anak dengan kesulitan belajar.

9.      Untuk mengetahui dan memahami anak dengan kesulitan belajar perlu Pendidikan.

10.  Untuk mengetahui dan memahami anak dengan kesulitan belajar dapat memperoleh Pendidikan.

 

 

11.  Untuk mengetahui dan memahami metode, strategi, prinsip layanan pembelajaran yang tepat untuk anak dengan kesulitan belajar.

12.  Untuk mengetahui dan memahami lingkungan (prasarana/sarana) yang harus disiapkan/ditata supaya cocok (accecible) untuk anak dengan kesulitan belajar.

13.  Untuk mengetahui dan memahami peralatan/media khusus untuk membantu anak dengan kesulitan belajar dalam belajar atau kehidupan.

14.  Untuk mengetahui dan memahami hasil penelitian terakhir tentang anak dengan kesulitan belajar.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


BAB II

KAJIAN TEORI

 

A.    Definisi Anak dengan Kesulitan Belajar

Kesulitan belajar atau learning disability yang biasa juga disebut dengan istilah learning disorder atau learning difficulty adalah suatu kelainan yang membuat individu yang bersangkutan sulit untuk melakukan kegiatan belajar secara efektif. Seperti kutipan dari buku “Educating Exceptional Children disabilities” Samuel kirk et al (2009) berpendapat anak-anak dengan kesulitan belajar bagi sebagian orang nampak membingungkan dan paradoks. Terlepas dari kecerdasan yang hampir rata-rata atau lebih tinggi dari rata-rata, siswa dengan kesulitan belajar sering kali membuat sekolah menjadi sangat sulit.  Sama seperti istilah ketidakmampuan belajar, anak-anak ini berjuang untuk belajar dan sering membutuhkan dukungan tambahan untuk membantu mereka berhasil di sekolah.

Misalnya ada seorang anak dengan nama Andrew, siswa kelas tiga yang cerdas dan suka bicara serta bersosialisasi dengan teman-temannya. Ketika buku-buku dibacakan kepadanya dia memahami dan mengingat semua detail dan sering mengajukan pertanyaan yang menarik. Gurunya memperhatikan hal ini dan merasa bahwa Andrew harus menjadi siswa yang sangat mampu, namun tingkat membaca independennya hampir tidak lebih dari kelas satu. Pada awalnya gurunya berasumsi bahwa dia hanya menjadi malas, tetapi ketika dia melihat betapa frustrasinya dia dengan kegiatan membaca, dia memutuskan mungkin ada lebih dari itu, dan memang ada: Andrew memiliki kesulitan belajar.

Alasan bahwa anak-anak penyandang kesulitan belajar tidak melakukannya dengan baik di sekolah telah menarik dan membingungkan para peneliti dan praktisi di bidang membaca, kognisi, pidato dan pendengaran, neurologi, belajar, visi, audisi, dan pendidikan. Tidak semua anak penyandang kesulitan belajar memiliki serangkaian tantangan yang sama. Sebagian besar mengalami kesulitan. Belajar membaca, mengeja, dan menulis. Anak lain mungkin juga memiliki masalah dengan matematika atau dengan menerima informasi dan tugas. Beberapa mengalami kesulitan dengan semua bidang akademik (Kirk et al., 2009).

Lebih dari empat puluh lima tahun telah berlalu sejak Samuel Kirk menggunakan istilah ketidakmampuan belajar untuk menggambarkan anak-anak yang, meskipun rata-rata atau di atas rata-rata intelijen, tampaknya menghadapi masalah dengan sekolah (Coleman, Buysse, & Neitzel, 2006). Pada saat itu Kirk percaya bahwa anak-anak ini kemungkinan akan menjadi subset yang sangat kecil dari anak-anak penyandang disabilities. Sedikit yang kita tahu bahwa anak-anak penyandang kesulitan belajar akan menjadi kelompok terbesar siswa yang dilayani oleh program pendidikan khusus. Perkiraan saat ini menunjukkan bahwa 48 persen dari anak-anak usia sekolah yang menerima pendidikan khusus dikategorikan sebagai learning disabled (Learning Disabilities; Departemen Pendidikan AS, 2005). Mengapa populasi ini diperluas untuk memasukkan sejumlah besar anak-anak? Salah satu penjelasan yang mungkin untuk ekspansi adalah cara kita telah menangani anak dengan kesulitan belajar.

Departemen Pendidikan AS (2004) memberi kita definisi berikut:

1.      Secara umum Istilah "specific learning disability" atau kesulitan belajar secara spesifik berarti gangguan dalam 1 atau lebih dari proses psikologis dasar yang terlibat dalam pemahaman atau dalam menggunakan bahasa, diucapkan atau ditulis, gangguan yang dapat memanifestasikan dirinya dalam kemampuan yang tidak sempurna untuk mendengarkan, berpikir, berbicara, menulis, mengeja, atau melakukan perhitungan matematika.

2.      Gangguan yang termasuk istilah tersebut mencakup kondisi seperti salah persepsi, cedera otak, disfungsi otak minimal, disleksia, dan perkembangan afasia.

3.      Gangguan masalah belajar yang tidak termasuk Istilah tersebut terutama merupakan hasil dari cacat visual, pendengaran, atau motorik keterbelakangan mental, gangguan emosional, atau kerugian lingkungan, budaya, atau ekonomi.

Ini adalah definisi teoritis dan harus "dioperasionalkan" untuk membantu kita benar-benar mengidentifikasi siswa dengan kesulitan belajar (Herr & Bateman, 2003). Untuk mengoperasionalkan definisi ini, sebagian besar negara mengembangkan formula yang bergantung pada perbedaan antara kemampuan intelektual (IQ) dan prestasi dan/atau kinerja. Besarnya perbedaan ini diperkirakan menunjukkan tingkat kecacatan yang mendasari mempengaruhi pemrosesan psikologis anak. Misalnya seorang pemuda bernama Jason yang cerdas melakukan hal buruk di sekolah. Kinerjanya yang buruk mungkin karena kesulitan belajar, atau mungkin karena sejumlah hal lain (misalnya, kurangnya minat pada sekolah, guru yang tidak berpengalaman, atau bahkan masalah dengan rumah dan keluarga). Seperti yang telah dituliskan sebelumnya, beberapa pendidik percaya bahwa penggunaan model perbedaan untuk mengidentifikasi siswa penyandang kesulitan belajar telah membuat label menjadi catchall. Banyak siswa yang telah dicap sebagai anak kesulitan belajar karena mereka kurang berprestasi di sekolah dan tidak ada alasan yang jelas untuk kurangnya keberhasilan mereka (Conyers, Reynolearning disabilitiess, & Ou, 2003; Fuchs, Mock, Morgan, & Young, 2003; Gerber et al., 2004; Kavale, Holearning disabilitiesnack, & Mostert, 2005).

Dengan demikian, Ketidakmampuan belajar mengacu pada kelompok gangguan heterogen yang dimanifestasikan oleh kesulitan yang signifikan dalam memperoleh dan menggunakan kemampuan mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, penalaran, atau matematika. kategori telah diperluas sebagai "sulit belajar" label telah diberikan kepada setiap siswa yang guru merasa akan mendapatkan keuntungan dari beberapa tingkat dukungan sistematis (MacMillan & Siperstein, 2002). Keprihatinan berikut menyoroti beberapa masalah dengan model perbedaan seperti yang digunakan untuk mengidentifikasi anak-anak dengan kesulitan belajar:

1.      Perbedaan antara IQ dan prestasi/kinerja sulit diukur pada usia anak-anak.

2.      Perbedaan antara IQ dan pencapaian/kinerja mungkin ada karena sejumlah alasan; dengan demikian, pendekatan ini benar-benar hanya membantu kita menemukan anak-anak dengan "kurang berprestasi yang tidak dapat dijelaskan" yang mungkin bukan karena kesulitan belajar.

3.      Untuk menemukan perbedaan kita harus menunggu sampai kesenjangan antara IQ dan prestasi / kinerja cukup luas untuk mengukur, dan ini berarti bahwa kita harus menunggu sampai anak telah mengalami kegagalan substansial dengan belajar.

4.      Model "wait-to-fail" atau menunggu adanya kegagalan menciptakan situasi di mana masalah utama yang dialami anak menjadi lebih buruk dan sering diperparah oleh masalah sekunder dengan perilaku, konsep diri, dan kesiapan akademik (Coleman, Buysse, & Neitzel, 2006).

Karena masalah ini dengan model perbedaan, banyak pendidik mempertahankan bahwa cara-cara mengidentifikasi dan melayani siswa dengan kesulitan belajar dalam pendidikan umum dan khusus tidak bekerja (Bender & Shores, 2007; Vellutino et al., 1996). Para pendidik ini percaya bahwa akan mengambil pergeseran paradigma besar untuk kembali ke jalur sehingga kebutuhan siswa dengan kesulitan belajar dapat dipenuhi (National Association of State Directors of Special Education [NASDSE], 2005; Fletcher, Denton, & Francis, 2005).

Kesulitan belajar khusus adalah suatu gangguan dalam satu atau lebih dari proses psikologis dasar yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa ujaran atau tulisan. Gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kesulitan mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja, atau berhitung. Batasan tersebut tidak mencakup kondisi-kondisi seperti gangguan konseptual, luka pada otak, disleksia, dan Afasia perkembangan. Batasan tersebut mencakup anak-anak yang memiliki problematika belajar yang penyebab utamanya berasal dari adanya hambatan dalam penglihatan, pendengaran, atau motorik, hambatan karena tuna-grahita, karena gangguan emosional, atau karena kemiskinan lingkungan, budaya, atau ekonomi (Mulyono, 2012).

Hammill, et al., (1981) mendefinisikan kesulitan belajar adalah beragam bentuk kesulitan yang nyata dalam aktivitas mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis, menalar, dan/atau dalam berhitung. Gangguan tersebut berupa gangguan intrinsik  yang diduga karena adanya disfungsi sistem saraf pusat. Kesulitan belajar bisa terjadi bersamaan dengan gangguan lain (misalnya gangguan sensoris, hambatan sosial, dan emosional) dan pengaruh lingkungan (misalnya perbedaan budaya atau proses pembelajaran yang tidak sesuai). Gangguan-gangguan eksternal tersebut tidak  menjadi faktor penyebab kondisi kesulitan belajar, walaupun menjadi faktor yang memperburuk kondisi kesulitan belajar yang sudah ada.

ACCALD (Association Committee for Children and Adult Learning Disabilities) dalam Lovitt, (1989) Kesulitan belajar khusus adalah suatu kondisi kronis yang diduga bersumber dari masalah neurologis, yang mengganggu perkembangan kemampuan mengintegrasikan dan kemampuan bahasa verbal atau nonverbal. Individu berkesulitan belajar memiliki inteligensi tergolong rata-rata atau di atas rata-rata dan memiliki cukup kesempatan untuk belajar. Mereka tidak memiliki gangguan sistem sensoris.

NJCLD (National Joint Committee of Learning Disabilities) dalam Learner, (2000) mengemukakan kesulitan belajar adalah istilah umum untuk berbagai jenis kesulitan dalam menyimak, berbicara, membaca, menulis, dan berhitung. Kondisi ini bukan  karena kecacatan fisik atau mental, bukan juga karena pengaruh faktor lingkungan, melainkan karena faktor kesulitan dari dalam individu itu sendiri saat mempersepsi dan melakukan pemrosesan informasi terhadap objek yang diinderainya.

The World Health Organisation (WHO), seperti yang dikutip oleh British Institute of  Learning Disabilities mendefinisiskan kesulitan belajar sebagai berikut: “Learning disabilities as a state of arrested or incomplete development of mind. Somebody with a leaning disability is said also to have significant impairment of intellectual functioning and significant impairment adaptive/social functioning. This means that the person will have difficulties understanding, learning, remembering new things, and in generalising any learning to new situations. Because of these difficulties with learning, the person may have difficulties with a number of social task, for example communication, self-care, awarness of health and safety” (Jamaris, 2014). Kesulitan belajar merupakan keadaan individu memiliki perkembangan pikiran yang tidak lengkap. Seseorang dengan kesulitan belajar cenderung dikatakan memiliki "gangguan signifikan fungsi intelektual dan gangguan yang signifikan adaptif / fungsi sosial. Ini berarti bahwa orang tersebut akan mengalami kesulitan memahami, belajar, mengingat hal-hal baru, dan dalam menerima setiap pembelajaran terhadap situasi baru. Karena kesulitan belajar ini, anak tersebut mungkin mengalami kesulitan dengan sejumlah tugas sosial, misalnya komunikasi, perawatan diri, kewaspadaan kesehatan dan keselamatan.

The Learning Dissabilities Association of Canada mendefinisikan kesulitan belajar seperti berikut ini: “Learning Dissabilities” refer to a number of disorders which may affect the acquistion, organization, retention, understanding, ore use of verbal or nonverbal information. These disorders affect learning in individuals who otherwise demonstrate at least average abilities essential for thinking and/or reasoning as such, learning dissabilities are distinct from global intellectual deficiency (Jamaris, 2014). Kesulitan belajar mengacu pada sejumlah gangguan yang dapat mempengaruhi akuisisi atau pemerolehan bahasa, organisasi, retensi, pemahaman, kemampuan menggunakan informasi verbal atau nonverbal. Gangguan ini menunjukkan perbedaan individu dalam belajar secara umum.

Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian kesulitan belajar adalah suatu kondisi dimana anak mengalami kesulitan untuk memahami atau menerima pembelajaran yang disebabkan oleh gangguan saraf pusat (otak). Sehingga anak mengalami gangguan yang mempengaruhi kemampuan untuk melakukan interpretasi apa yang dilihat dan didengar atau mendapat informasi dari bagian otak yang berbeda. Beberapa gangguan dapat mempengaruhi kegiatan belajar di sekolah berupa gangguan belajar dalam menulis, membaca atau mengerjakan matematika.

B.     Klasifikasi Anak dengan Kesulitan Belajar

Proses pembelajaran anak dengan kesulitan belajar membutuhkan beberapa strategi yang disesuaikan pada kondisi anak. Kesulitan membaca, kesulitan dalam ekspresi tulisan, dan kesulitan dalam proses berhitung merupakan bagian dari kesulitan belajar pada kelompok masalah prestasi akademik. Hallahan dan Kaufman sebagaimana di kutip Mangunsong, menyatakan bahwa beberapa karakteristik yang umumnya dimiliki oleh siswa dengan kesulitan belajar, dikelompokkan kedalam enam macam masalah, yaitu masalah prestasi akademis; masalah perseptual, perseptual-motor, dan kordinasi umum; gangguan atensi dan hiperaktivitas; masalah memori, kognitif, dan metakognitif; masalah sosial-emosional; dan masalah motivasional. Dari klasifikasi tersebut masalah prestasi akademik terbagi dalam istilah disleksia, diskalkulia dan disgrafia (Sa ’adati, n.d. 2015).

Disleksia dianggap sebagai gangguan dalam populasi kesulitan belajar, dan didefinisikan oleh Asosiasi Disleksia Internasional sebagai berikut: Salah satu dari beberapa kesulitan belajar yang berbeda, yaitu gangguan konstitusional berbahasa tertentu yang ditandai dengan kesulitan dalam decoding kata tunggal, biasanya mencerminkan pemrosesan fonologis yang tidak cukup. Kesulitan dalam decoding kata tunggal sering tak terduga dalam kaitannya dengan usia dan kemampuan kognitif dan akademik lainnya; mereka tidak termasuk dalam gangguan perkembangan umum atau gangguan sensorik. Disleksia dimanifestasikan dalam kesulitan variabel dengan berbagai bentuk bahasa, selain masalah dengan membaca, masalah mencolok dalam memperoleh kecakapan dalam menulis dan ejaan (Orton Dyslexia Research Committee, 1994).

Kesimpulan utama adalah bahwa anak-anak dengan disleksia memiliki otak yang beroperasi secara berbeda dari otak anak-anak tanpa disleksia (Miller et al, 2003 Rourke, 1991; Willingham, 2008; Willis, 2008). Meskipun orang dengan disleksia memiliki kesulitan dalam perolehan bahasa (membaca, ejaan, menulis, dan kesadaran fonologis), banyak yang memiliki kemampuan yang berkembang dengan baik dalam pemecahan masalah visual, spasial, motorik, dan nonverbal (Dickman, 1996).

Contoh kasus dengan perkembangan belajar Ray bisa disebut disleksia karena kesulitan belajar khusus berada di bidang bahasa. Penting untuk diingat bahwa tidak semua anak dengan kesulitan belajar memiliki disleksia dan bahwa disleksia sering dianggap sebagai istilah medis, sedangkan kesulitan belajar tertentu digunakan dalam pengaturan pendidikan. Ray juga memiliki banyak kesulitan belajar di sekolah, dan pikirannya sering tidak fokus, yang menyebabkan kesulitan baginya di sekolah dan merupakan sumber frustrasi bagi guru-gurunya. Kesulitan Ray cukup ekstrim sehingga guru-gurunya merasa dia mungkin juga memiliki gangguan tidak dapat fokus (konsentrasi).

Attention-Deficit Hyperactivity Disorders Attention-deficit hyperactivity disorders (ADHD) dapat dianggap sebagai bentuk spesifik dari kesulitan belajar yang berkaitan dengan ketidakmampuan individu untuk melakukan atau fokus pada tugas tertentu. Meskipun ada beberapa kontroversi apakah ADHD harus dianggap sebagai kondisi terpisah dan bukan sebagai kesulitan belajar, dasar neurologis strategi pendidikan yang kami gunakan untuk menanggapi kebutuhan siswa dengan ADHD mirip dengan dukungan yang kita gunakan dengan anak-anak yang memiliki bentuk lain dari kesulitan belajar (Cutting & Denckla, 2003).

Organisasi Children disabilities and Adults with Attention-Deficit Hyperactivity Disorder (CHADD) mendefinisikan ADHD sebagai berikut: "Attention-deficit hyperactivity disorder (ADHD) adalah kondisi yang mempengaruhi anak-anak dan orang dewasa yang ditandai dengan masalah dengan perhatian, impulsif, dan kelebihan aktivitas" (CHADD, 2008). Contoh kasus anak yang bernama Angie memiliki ADHD. Dia mudah terganggu dan sering mengalihkan perhatian siswa lain. Angie sering ceroboh dalam mengerjakan tugasnya dan tidak dapat konsentrasi dalam kegiatan. Sulit baginya untuk berkonsentrasi di sekolah, dan gurunya menyebutnya sebagai "cacing goyang." Orang tua Angie merasa bahwa dia impulsif, dan mereka merasa frustasi bahwa dia tidak dapat menindaklanjuti dengan mengerjakan tugas di rumah, seperti mengatur meja, kecuali jika dia diminta beberapa kali. Orang tuanya merasa bahwa Angie berubah dari gadis kecil mereka yang suka bersenang-senang menjadi anak yang suka marah dan tidak bahagia. Indikator ADHD dalam tabel sebagai berikut:

Dari diagnostik dan statistik Manual gangguan mental, Anda akan melihat bahwa Angie memiliki beberapa gejala yang terdaftar. Meskipun banyak anak-anak menghadapi masalah periodik dengan perhatian dan tindak lanjut, individu dengan ADHD menghadapi tantangan seumur hidup dan membutuhkan berbagai dukungan untuk membantu mereka menjadi sukses. Banyak individu dengan ADHD dapat memperoleh manfaat dari obat-obatan yang digunakan untuk membantu mereka fokus dan mempertahankan perhatian mereka untuk dapat konsentrasi dalam melakukan kegiatan. Para peneliti baru-baru ini telah berfokus pada menganalisis apa yang harus dipelajari anak-anak dan mengidentifikasi masalah yang anak-anak hadapi dalam kesulitan belajar untuk menguasai materi.

C.    Faktor Penyebab Anak dengan Kesulitan Belajar

Penyebab kesulitan belajar tidak ada yang menemukan satu pun penyebab pasti mengapa anak mengalami kesulitan belajar. Studi yang berfokus pada subkelompok dalam populasi yang lebih besar dari anak-anak dengan kesulitan belajar telah mengidentifikasi beberapa perbedaan neurologis dan kekurangan saraf sensorik yang terkait dengan masalah belajar mereka (Hynd, 1992; Lyon, 1995; Rourke, 1994).

Studi terbaru dengan menggunakan teknologi telah menemukan perbedaan dalam struktur otak di antara siswa yang memiliki masalah membaca, tidak fokus, dan kesulitan pemrosesan pendengaran (Jensen, 2000; Willingham, 2008; Willis, 2008). Meskipun tidak ada yang cukup yakin apa yang menyebabkan kesulitan belajar, beberapa bukti menunjukkan bahwa mereka mungkin genetik, karena mereka tampaknya "berjalan dalam keluarga" (keturunan). Bagaimanapun faktor lingkungan, dari perawatan kesehatan prenatal yang tidak memadai hingga paparan zat berbahaya, juga dapat menyebabkan kesulitan belajar.

Sedangkan menurut Mangunsong sejarah dari penyebab kesulitan belajar dibagi menjadi 4 fase yaitu :

1.       Fase dasar, Fase ini terjadi pada masa 1800-1930. Hal ini merupakan era awal penelitian pada otak dan kerusakannya.

2.       Fase transisi, Fase ini mulai masa 1930-1960. Pada fase ini peneliti secara klinis mengamati anak-anak yang mempunyai permasalahan dalam belajar. Psikolog dan pendidik mengembangkan alat-alat untuk pengukuran dan remedial. Kemajuan pada fase ini ditandai dengan ditemukan sebutan-sebutan brain injuring children disabilities (anak dengan luka otak) yang diperkenalkan oleh Alfred Strauss.

3.       Fase integrasi, Pada masa antara 1960-1980. Pada masa ini tampak implementasi yang pesat dari program-program kesulitan belajar di sekolah-sekolah.

4.       Fase contemporary Mulai setelah 1980. Pada masa ini diperkenalkan antara lain tentang rentang usia, rentang kesulitan dari sedang ke berat (milearning disabilities-severe).

HIRSCH, penyebab kesukaran belajar dibagi dalam 8 kemungkinan kategori, yaitu:

1.      Minimal brain dysfunction atau disfungsi minimal otak.

2.      Mixed dominance/mixed literality, tidak adanya dominasi literalitas.

3.      Traditional visual anomalities, adanya penyimpangan visual.

4.      Developmental abnormalities, adanya perkembangan yang tidak normal.

5.      Intellectual deprivation, deprivasi dalam proses berfikir.

6.      Psycological disorders, penyimpangan psikologis.

7.      Genetic causation, adanya penyebab bersifat genetik.

8.      Teaching methodology, pengaruh/kesalahan dalam cara mengajar.

Secara umum faktor penyebab kesulitan belajar dapat disimpulkan disebabkan oleh faktor internal yang mencakup faktor konstitusi tubuh/fisik dan faktor psikologis. Faktor eksternal yang berpengaruh mencakup faktor alamiah dan faktor sosial, individu.

D.    Karakteristik Anak dengan Kesulitan Belajar

Anak-anak dengan kesulitan belajar tertentu bervariasi dalam karakteristik akademik, pribadi, dan sosial mereka. Contoh kasus Jason: Jason adalah siswa kelas lima dengan skor IQ terukur 135. Meskipun skor ini menempatkannya dalam rentang berbakat secara intelektual, ia masih berjuang dengan banyak tugas akademik. Dia adalah pembaca yang bagus tetapi kesulitan dalam mengeja. Jason juga memiliki kesulitan dengan tulisan tangan, meskipun ia dapat berbicara dengan sangat rinci tentang subjek yang menarik, ia memiliki waktu yang sangat sulit untuk menulis. Karena kesulitan dalam belajar, dia sering mencoba mengalihkan perhatian kelas dengan keonaran ketika dia menjadi frustrasi. Perilaku mengganggu ini telah menyebabkan beberapa isolasi sosial, karena teman sekelas Jason tidak ingin mendapat masalah karena perilakunya. Guru Jason frustrasi dengannya; dia melihat betapa cerahnya dia ketika dia berpartisipasi dalam diskusi dan bertanya-tanya mengapa dia tidak dapat membuat dirinya lebih rajin ketika dia menulis. Dia juga bingung dengan perilakunya yang mengganggu dan merasa bahwa dia mungkin perlu lebih disiplin baik di sekolah maupun di rumah. Dalam pembahasan yang lain mencoba mengeksplorasi bagaimana komputer dan teknologi dapat digunakan untuk membantu Jason menjadi lebih sukses.

Contoh kasus lain terjadi pada Ray terlihat sangat berbeda dari Jason. Ray memiliki kecerdasan rata-rata tetapi menghadapi masalah ekstrim dengan membaca, mengeja, dan menulis (disebut dengan disleksia). Dia mengalami kesulitan mengatur ide-idenya dan sering terganggu. Masalah membacanya begitu parah sehingga ia hampir tidak dapat membaca (nonreader). Karena kinerja akademiknya yang buruk, teman-teman sekelasnya percaya dia "bodoh." Terlepas dari masalah akademik ini, Ray unggul dalam satu bidang: seni. Ray sangat kreatif dan menyukai proyek pembangunan langsung. Bahkan, ia dengan senang hati menjadi sukarelawan untuk semua proyek seni. Gurunya merasa bahwa dia membutuhkan banyak dukungan untuk belajar dan berterima kasih atas bantuan gurunya. Guru khusus memiliki keahlian dalam bekerja dengan siswa dengan kebutuhan khusus. Dia bekerja dengan Ray dan sekelompok kecil siswa dengan kebutuhan yang sama selama satu jam setiap hari, dan dia juga membantu guru kelas umum Ray menyesuaikan pelajarannya untuk memberikan lebih banyak dukungan bagi Ray. Bersama-sama, kedua guru Ray mencari cara untuk menggunakan kekuatannya dalam seni untuk meningkatkan harga dirinya dan membangun lebih banyak dukungan sosial baginya dengan rekan-rekannya.

Baik Jason dan Ray memiliki kesulitan belajar, namun masing-masing unik dalam kombinasi kekuatan dan tantangan kesulitannya. Karena perbedaan ini, setiap siswa penyandang learning disability atau kesulitan belajar akan membutuhkan individual education program (IEP) untuk mendukung keberhasilannya di sekolah. Dalam pembahasan ini mencoba mengeksplorasi bagaimana guru dan orang tua dapat bekerja sama dengan anak untuk mencapai kesuksesan, tetapi kita melihat bagaimana tantangan dalam kesulitan belajar yang dialami anak.

Diagram Profil Jason dan Ray

E.     Cara mengidentifikasi Anak dengan Kesulitan Belajar

Otorisasi ulang baru-baru ini dari Individuals with Disabilities Education Act (IDEA; yang disahkan kembali sebagai Individuals with Disabilities Education Improvement Act, 2004) mengubah cara pandang tentang bagaimana kita mendefinisikan dan melayani siswa dengan kesulitan belajar. IDEA 2004 mencakup model RTI sebagai salah satu pilihan yang dapat digunakan sekolah untuk mengidentifikasi siswa penyandang kesulitan belajar.

Secara umum ketika menentukan apakah seorang anak memiliki kesulitan belajar tertentu, lembaga pendidikan setempat perlu mempertimbangkan apakah seorang anak memiliki perbedaan yang parah antara pencapaian dan kemampuan intelektual dalam ekspresi lisan, pemahaman mendengarkan, ekspresi tertulis, keterampilan membaca dasar, pemahaman membaca, perhitungan matematis, atau penalaran matematis. Otoritas dalam menentukan apakah seorang anak memiliki kesulitan belajar tertentu, lembaga pendidikan setempat dapat menggunakan proses yang menentukan apakah anak menanggapi intervensi ilmiah berbasis penelitian sebagai bagian dari prosedur evaluasi. Cara seorang anak menanggapi intervensi ilmiah berbasis penelitian dapat digunakan sebagai salah satu bagian dari penilaian komprehensif terhadap kekuatan dan kesulitan anak (Kirk et al., 2009).

Identifikasi juga dapat dilakukan dengan proses mengenali individu untuk memperoleh informasi tentang jenis-jenis kesulitan belajar yang dialami. Untuk mengantisipasi kekeliruan dalam klasifikasi dan agar dapat diberikan layanan pendidikan pada anak berkesulitan belajar, diperlukan semacam instrumen untuk mengidentifikasi kondisi kesulitan belajar tersebut. Instrumen ini berupa tabel inventori atau daftar ceklis. Instrumen ini bisa digunakan guru kelas untuk mengidentifikasi kemampuan siswanya. Identifikasi dilakukan melalui observasi atau pengamatan. Pada umumnya karakteristik peserta didik dapat dikenali setelah 3 bulan pertama setelah mengikuti pembelajaran di kelas. Melalui identifikasi akan diperoleh informasi tentang klasifikasi kesulitan belajar yang dialami anak. Dari klasifikasi tersebut dapat disusun perencanaan program dan tindakan pembelajaran yang sesuai. Identifikasi dilakukan melalui pengamatan dengan menggunakan instrumen daftar ceklis.

Menurut Sumarlis (2008) bila dari hasil pengamatan, seorang anak menunjukkan lebih dari delapan item perilaku kesulitan dalam belajar, kemungkinan anak tersebut berisiko mengalami kesulitan belajar Untuk memperoleh informasi yang lebih akurat mengenai kondisi kesulitan belajarnya, anak bisa dirujuk kepada tenaga ahli (psikolog dan pedagog), sehingga layanan pendidikan yang diberikan kepada anak berkesulitan belajar menjadi lebih tepat. Namun, tanpa rujukan tenaga ahli pun, guru tetap dapat menyusun program dan melaksanakan pembelajaran bagi peserta didik yang mengalami kesulitan belajar.

F.     Populasi atau Prevalensi Anak dengan Kesulitan Belajar

Penelitian yang dilakukan Young dan Beitcmnen menunjukkan estimasi prevalensi gangguan belajar berkisar antara 5% sampai 10% meskipun frekuensi diagnosis ini tampaknya meningkat di wilayah-wilayah yang lebih sejahtera di AS. Diyakini bahwa hampir 4 juta anak di Amerika Serikat diduga kuat memiliki gangguan belajar tertentu Tampaknya ada perbedaan rasial diagnosis gangguan belajar. Kira-kira 1% anak-anak kulit putih dan 2,6% anak-anak kulit hitam menerima pelayanan untuk masalah-masalah belajar selama tahun 2001. Tetapi penelitian ini juga menunjukkan bahwa perbedaan tersebut berhubungan dengan status ekonomi anak, dan bukan dengan latar belakang etnis mereka.

Kesulitan membaca merupakan gangguan belajar yang paling banyak dijumpai dan muncul dengan bentuk tertentu disekitar 5% sampai 15% diantara populasi secara umum. Gangguan matematika muncul diantara kira-kira 6% populasi, tetapi kami memiliki informasi yang terbatas tentang prevalensi gangguan ekspresi tertulis dikalangan anak-anak dan remaja. Studi-studi terdahulu menunjukkan bahwa lebih banyak anak laki-laki yang memiliki gangguan membaca dibanding anak perempuan, meskipun penelitian yang lebih kontemporer menunjukkan bahwa jumlah anak laki-laki dan perempuan yang menyandang gangguan ini mungkin sebanding. Gangguan belajar dapat menimbulkan sejumlah akibat yang berbeda, tergantung sejauh mana disabilitasnya dan sejauh mana dukungan yang tersedia bagi mereka. Sebuah studi menemukan bahwa sekitar 32% siswa yang memiliki disabilitas belajar drop out dari sekolah. Disamping itu, employmen rate untuk siswa dengan berbagai gangguan belajar cenderung rendah, yaitu berkisar anatara 60% dan 70%. Angka yang rendah ini mungkin sebagian disebabkan oleh ekspektasi siswa yang rendah. Sebuah studi melaporkan bahwa hanya 50% pelajar yang memiliki disabilitas belajar yang memiliki rencana yang jelas setelah lulus sekolah. Sebagian individu dengan gangguan kesulitan belajar dapat mencapai tujuan pendidikan atau kariernya. Tetapi, hal ini tampaknya akan lebih sulit dicapai oleh penderita gangguan kesulitan belajar berat.

Meskipun ketidakmampuan belajar memiliki dampak di segala usia, kirk et al memfokuskan pembahasan tentang prevalensi pada individu usia sekolah, dari 6 hingga 21 tahun. The Twenty-sixth Annual Report to Congress on the Implementation of the Individuals with Disabilities Education Act, 2006, melaporkan bahwa 4,3 persen individu berusia 6-21 tahun menerima pendidikan khusus dan/atau layanan terkait karena kesulitan belajar spesifik dan seperti yang telah diketahui sebelumnya, kategori kesulitan belajar membentuk sekitar 48 persen dari semua siswa penyandang disabilitas (Departemen Pendidikan AS, 2005). Ketidakmampuan belajar adalah kategori kecacatan terbesar di antara semua kelompok ras dan etnis; Namun, ada perbedaan dalam mengidentifikasi pola kation di seluruh kelompok. Laporan Tahunan Kedua Puluh Enam menunjukkan bahwa indian Amerika/Alaska Natives, hitam non-Hispanik, dan hispanik siswa agak lebih mungkin untuk diidentifikasi memiliki kesulitan belajar, sedangkan identifikasi agak lebih rendah untuk putih non-Hispanik dan Asia/Kepulauan Pasifik. Pola-pola ini terus mengingatkan kita bahwa proses identifikasi yang kita gunakan harus adil sehingga kita secara tidak sengaja mengidentifikasi anak-anak dari beberapa kelompok ras dan etnis.

Persentase Siswa Penyandang kesulitan Belajar Dilayani dalam Pengaturan Pendidikan Yang Berbeda

Dalam gambar menunjukkan bagaimana layanan bagi siswa penyandang kesulitan belajar disediakan di seluruh pengaturan pendidikan umum dan khusus. Mayoritas siswa dengan kesulitan belajar (47 persen) menghabiskan sebagian besar waktu mereka di kelas pendidikan umum. Tiga puluh sembilan persen (39 persen) siswa penyandang kesulitan belajar menerima layanan dalam pengaturan lain (special education) untuk antara satu setengah, tiga dan satu setengah jam sehari. Persentase yang jauh lebih kecil dari siswa dengan kesulitan belajar (13 persen) menghabiskan lebih dari setengah hari sekolah mereka dalam pengaturan selain kelas umum, dan 1 persen menerima layanan di lingkungan yang berbeda (Departemen Pendidikan AS, 2005).

G.    Hambatan yang ada pada Anak dengan Kesulitan Belajar

 

Ketika berpikir tentang siswa dengan kesulitan belajar, penting untuk diingat sebagai berikut:

  1. Semua anak dengan kesulitan belajar memiliki masalah belajar dari beberapa jenis. 

2.      Tidak semua anak dengan masalah akademik memiliki keterbatasan belajar. 

3.      Ketidakmampuan belajar adalah istilah umum yang mengacu pada kelompok gangguan heterogen yang mencakup pola kekuatan dan tantangan yang berbeda. 

4.      Ketidakmampuan belajar dipandang sebagai masalah tidak hanya dari tahun-tahun sekolah tetapi juga kehidupan anak usia dini dan dewasa. 

5.      Siswa dengan kesulitan belajar adalah kelompok campuran, beberapa di antaranya memiliki kesulitan belajar berbasis neurologis, sedangkan yang lain memiliki prestasi yang kurang dapat dijelaskan. 

6.      Ketidakmampuan belajar dapat terjadi pada penyandang cacat lainnya dan dapat ditemukan dalam semua kelompok budaya dan linguistik (Kirk et al, 2009).

Suharmini juga berpendapat Anak dengan kesulitan belajar memiliki beberapa hambatan, di antaranya:

1.      Keterampilan Dasar. Anak dengan kesulitan belajar biasanya memiliki gangguan dalam proses mempelajari nama warna atau huruf, tidak memiliki pemahaman yang kuat hubungan antara huruf dengan suara, buruk pada tugas yang berhubungan dengan bunyi, memiliki masalah dalam mengingat fakta dasar matematika.

2.      Membaca. Anak-anak ini memiliki kekurangan dalam jumlah perbendaharaan kata dibandingkan anak seusianya, membaca dengan suara keras kurang lancar atau terbata-bata, memiliki masalah yang berkelanjutan atau terus menerus untuk mendeskripsikan sesuatu, tidak mengerti apa yang dibaca, pemahaman membaca bermasalah karena masalah pemahaman uraian kata, sering membalik-balikan kata, kemampuan membaca tidak sesuai dengan kecerdasan yang tampak dan kosakata yang dimilikinya, sering mengganti kata-kata yang mirip secara visual (misalnya ini untuk itu), lambat tingkat membacanya dibandingkan anak lain seusianya, kata-kata yang terpecah ketika membaca, menambahkan kata saat membaca, terus bergantung pada jari menunjuk saat membaca (untuk siswa yang lebih tua), terus bergerak bibirnya saat membaca (untuk siswa yang lebih tua).

3.      Menulis. Dalam hal menulis, anak-anak ini membuat pembalikan huruf dan diulang-ulang (setelah 9 tahun), sering melakukan kesalahan dalam ejaan termasuk penghilangan konsonan, kesalahan urutan suku kata (misalnya manbi untuk mandi), menulis lambat atau dengan susah payah, membuat pembalikan nomor.

4.      Bahasa Lisan. Anak-anak ini memiliki kesulitan menemukan kata yang tepat, mengingat urutan verbal (misalnya nomor telepon, arah, bulan tahun), memiliki kosakata yang terbatas.

5.      Perilaku. Anak-anak ini tidak suka membaca atau menghindarinya, memiliki masalah perilaku waktu selama atau sebelum kegiatan membaca dengan membaca signifikan, menolak untuk melakukan pekerjaan rumah yang membutuhkan bacaan, tampaknya hanya melihat gambar-gambar di buku cerita dan mengabaikan teks (Suharmini, 2007).

H.    Kebutuhan khusus Anak dengan Kesulitan Belajar

 

Penting untuk dicatat bahwa bahasan ini tidak menghalangi tinjauan potensi siswa sebagai bagian dari evaluasi pendidikan yang komprehensif dari kebutuhan siswa (Fuchs & Fuchs, 2007). Bagian ini memungkinkan penggunaan informasi yang menunjukkan bagaimana seorang anak telah menanggapi intervensi ilmiah berbasis penelitian sebagai salah satu bagian dari evaluasi komprehensif kebutuhan siswa (Kame'enui, 2007). Pendekatan ini disebut respon terhadap intervensi.

Model RTI berfokus pada pencegahan dan intervensi prereferral dan pada mengenali kebutuhan siswa sehingga kami dapat memberikan dukungan dan layanan yang tepat melalui pendekatan kolaboratif (Komisi Presiden tentang Keunggulan dalam Pendidikan Khusus, 2002). Meskipun saat ini tidak ada model RTI tunggal, sebagian besar pendidik setuju pada komponen kunci berikut RTI (Bradley, Danielson, & Doolittle, 2007):

1.      Hirarki campur tangan dengan tiga tingkatan atau lebih di mana tahap I adalah lingkungan pembelajaran umum berkualitas tinggi dan tingkatan tambahan memberikan lebih banyak bantuan bagi siswa yang kebutuhannya memerlukan dukungan yang lebih intensif

2.      Penggunaan intervensi berbasis bukti untuk memenuhi kebutuhan siswa, sering disebut pendekatan protokol standar

3.      Pemecahan masalah kolaboratif, yang melibatkan tim multidisiplin yang bekerja sama dengan orang tua untuk merancang layanan yang memenuhi kebutuhan siswa

4.      Pemantauan kemajuan, atau menggunakan data tentang prestasi siswa, kinerja, dan kebutuhan lainnya untuk memantau kemajuan, memandu pengambilan keputusan, dan rencana untuk kebutuhan masa depan

Pendekatan RTI memungkinkan intervensi dini dan intensif berdasarkan kebutuhan siswa tanpa menunggu anak-anak untuk "gagal" di kelas tiga (Fuchs & Fuchs, 2007; Fuchs, Fuchs, Matematika, Lipsey, & Roberts, 2002; Fuchs, Mock, Morgan, & Young, 2003; Jenkins & O'Connor, 2002; Vaughn & Fuchs, 2003). Jika kita berpikir tentang pengalaman Ray di sekolah, kita dapat melihat bagaimana pendekatan RTI akan berguna. Ray, seperti yang Anda ingat, adalah siswa kelas lima yang berjuang di sekolah dan memiliki masalah parah dengan membaca, ejaan, dan menulis.

Di kelas awal guru Ray berharap bahwa ia akan mengejar di kelas selanjutnya jika ia bekerja sedikit lebih keras. Mereka tidak mempertimbangkan penilaian bagi Ray untuk memulai layanan pendidikan, meskipun ia tertinggal, ia belum cukup tertinggal bagi guru-gurunya untuk melihat perbedaan akut antara kemampuannya (IQ, yang rata-rata) dan kinerjanya (agak di bawah rata-rata). Tidak sampai Ray berada di kelas tiga bahwa ia memenuhi syarat untuk layanan, di mana ia akhirnya gagal. Dengan pendekatan RTI, guru Ray akan dapat mengaktifkan dukungan dan layanan segera setelah mereka melihat bahwa Ray mengalami kesulitan; mereka tidak akan harus menunggu label formal kesulitan belajar. Ray akan memiliki instruksi yang lebih intensif yang diberikan dalam kelompok-kelompok kecil, karena intervensi Tahap II sejak awal, dan guru-gurunya akan memulai penilaian formal segera setelah mereka menyadari bahwa Ray terus tertinggal. Kesulitan belajar Ray akan diidentifikasi, tetapi dia tidak akan gagal di kelas tiga untuk mendapatkan bantuan yang dia butuhkan. Untuk membantu guru mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang kesulitan belajar Ray.

I.       Pendidikan untuk Anak dengan Kesulitan Belajar

 

Pendidikan merupakan hak semua warga negaranya tanpa kecuali. Hak pendidikan tidak membedakan derajat, kondisi ekonomi ataupun kelainannya. Semua berhak memperoleh pendidikan yang layak. Semua berhak memperoleh pendidikan yang ada disekitarnya. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1).

Berdasarkan adanya kesulitan belajar pada umumnya berkaitan dengan masalah kemampuan belajar atau masalah akademik; maka ada dua klasifikasi untuk penanganannya yaitu berasal dari persepsi medis dan persepsi psikoedukasional. Dua pendekatan tersebut mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

  1. Ahli medis yang menganggap bahwa kesulitan belajar khusus disebabkan oleh kerusakan, menitikberatkan penanganan atau perawatan melalui obat untuk mengurangi tingkat kesulitan belajar dan gangguan yang diakibatkannya.
  2. Psikolog dan ahli-ahli pendidikan yang menganggap bahwa penyebab kesulitan belajar adalah karena adanya defisit dalam keterampilan perseptual motorik, akan mencari bentuk-bentuk bantuan yang dapat meningkatkan fungsi perseptual motorik. Bila penyebabnya diduga karena kekurangan di bidang akademik; akan meningkatkan kemampuan dalam bidang yang dianggap kurang.

Dengan kata lain setelah menentukan diagnosa dari hambatan yang terjadi pada seorang anak, maka bentuk penanggulangan /bantuan/ intervensi yang dapat diberikan adalah:

  1. Remedial merupakan usaha perbaikan yang dilakukan pada fungsi belajar yang terhambat. Perbaikan pengajaran sebaiknya dilakukan secara individual dan mengandung makna timbal balik, untuk siswa dan guru. Dalam program remedial (perbaikan belajar mengajar) sebaiknya mengikuti prosedur sebagai berikut:

a.       Analisis diagnosis.

b.      Menentukan bidang yang perlu mendapatkan perbaikan.

c.       Menyusun program perbaikan.

d.      Melaksanakan program perbaikan.

e.       Menilai perbaikan belajar-mengajar.

Biasanya program remedial dapat diberi sedini mungkin pada anak usia prasekolah, yang dalam hal ini sedang mengalami proses perkembangan motorik dan perseptual.

  1. Tutoring merupakan bantuan yang diberikan langsung pada bidang studi yang terhambat dari siswa yang sudah duduk dibangku sekolah. Cara ini lebih cepat karena tanpa melalui perbaikan proses dasarnya terlebih dahulu, dengan tujuan mengejar ketinggalan di kelas. Tapi sebaiknya intervensi yang paling ideal dan menyeluruh akan mencakup kedua program (remedial dan tutoring).
  2. Kompensasi diberikan bila hambatan yang dimiliki anak berdampak negatif dalam proses pembentukan konsep dirinya. Dalam arti, mengingat usia, kegiatan yang dilakukan dan derajat kesulitan yang dialami sedemikian rupa, sehingga diperlukan sesuatu kompensasi untuk mengatasi kekurangannya dibidang tertentu.

J.      Pendidikan (berbagai model/pendekatan/lingkungan Pendidikan untuk Anak dengan Kesulitan Belajar)

 

Rancangan model penanganan anak berkesulitan belajar meliputi fleksibilitas yang dilakukan dalam 4 hal yaitu: a) pemberian materi dan cara pengajaran, b) pemberian tugas dan penilaian, c) tuntutan waktu dan jadwal, dan d) lingkungan belajar. Empat hal tersebut didukung oleh pengelolaan situasi iklim akademik yang mendukung (supportive learning environment). Iklim akademik yang mendukung/kondusif adalah segala sesuatu yang terkait dengan sikap, perilaku dari guru dan siswa-siswa lain yang menunjukkan penerimaan terhadap keberadaan anak berkesulitan belajar.

Penanganan secara individual dapat dilakukan di ruang sumber pada bidang akademik maupun non akademik. Permasalahan kurang percaya diri dapat diatasi terlebih dahulu dengan meningkatkan motivasi belajar seiring penanganan akademik.

1.       Menumbuhkan percaya diri dan motivasi pada anak : a) minta anak mengenali dirinya, b) Mengenali saat-saat menjadi minder atau putus asa, c) Kembangkan kemampuan non-akademik, misal : meja rapi, membantu teman dan sopan santun, d) Dorongan agar obyektif.

2.       Membangun kolaborasi dengan orang tua, Menangani anak berkesulitan belajar merupakan tantangan tersendiri. Frustasi, bingung dapat membuat orang tua dan guru saling menyalahkan. Pemahaman dan komunikasi yang terbuka dapat menurunkan ketegangan emosi yang dialami dan saling mendukung dalam menangani anak. Menjadikan orang tua sebagai partner dalam penanganan anak dapat dilakukan dalam rangka : a) Berbagi informasi tentang kemampuan anak di sekolah maupun di rumah. b) Bersama mencari kekuatan dan kelemahan anak. c) Penelusuran permasalahan anak. d) Perencanaan penanganan. e) Mengevaluasi bersama (Pengembangan et al., 2011).

K.    Metode, strategi, prinsip layanan pembelajaran untuk Anak dengan Kesulitan Belajar

 

Secara umum, metode multisensori/VAKT (visual, auditori, kinestetik dan taktil) dapat digunakan untuk kesulitan calistung. Contoh penerapan untuk membaca adalah sebagai berikut :

1.       Pemberdayaan sensori visual dapat dilakukan dengan :

a.       Diskriminasi visual, pembelajaran dengan mencari perbedaan dan persamaan huruf atau suku kata. Misal : Mintalah anak untuk membedakan kata-kata yang hampir sama, seperti : batu, bata, tabu.

b.       Urutan visual. Misal : Siswa menyusun huruf sesuai kata yang sesuai.

c.       Memori visual. Misal : Guru menunjukkan suatu kata selama beberapa detik lalu menyembunyikannya. Siswa berupaya mengingat huruf-huruf yang ada dalam kata itu.

d.       Menyebutkan nama huruf. Misal : Minta anak mencari kata dengan huruf depan ‟m‟ atau ‟w‟ di majalah lalu menggunting dan ditempel di buku kegiatan. (Lerner, 2006).

2.       Pemberdayaan sensori auditori dapat dilakukan dengan cara :

a.       Diskriminasi auditori. Guru berdiri di belakang siswa, ucapkan satu kata dan minta anak mengangkat tangannya bila mendengar kata yang serupa ketika guru mengucapkan beberapa kata yang hampir sama.

b.       Irama, ini penting untuk belajar tentang ’word familiar’ (kata dengan bunyi sama). Siswa diajarkan untuk melengkapi puisi atau sajak a-a-a.

c.       Blending (menggabung huruf). Langkah pengajarannya : a) Ucapkan dua suku kata yang berbeda (Ba-Tu). Minta anak mengulang dan bantu ia mengenali 2 suku kata pembentuknya. b) Ucapkan satu suku kata dengan penekanan di akhir, misal ‟ra-t‟. Minta anak untuk mengulangi ucapan kita dan mengenali huruf.

d.       Memori auditori. a) Ucapkan kalimat sederhana dan minta anak mengulang. Kalimat dapat ditingkatkan semakin panjang. b) Minta anak menghafal puisi atau lagu. c) Ucapkan dua suku kata yang tidak terkait untuk diulang siswa.

Model pemrosesan informasi (IPM) berguna dalam membantu memahami dampak yang dapat dilakukan oleh anak dengan kesulitan belajar terhadap kemampuan siswa untuk mengambil, memikirkan, dan berbagi hal-hal yang sedang dia pelajari. (Willis, 2008; Wong, Harris, Graham, & Butler, 2003). Model ini menggambarkan pembelajaran sebagai serangkaian komponen yang melibatkan stimulasi sensorik/ input, pemrosesan / pemikiran, dan output, atau berbagi apa yang telah dipelajari. Dalam pembahasan ini berfokus pada dampak bahwa anak dengan kesulitan belajar memiliki kemampuan untuk dapat memproses informasi. Dalam pembelajaran, disebut dengan aspek metakognisi IPM. Kami telah menambahkan konteks emosional untuk pemrosesan informasi, karena konteks emosional ini adalah mediator kritis dalam cara siswa dengan informasi dalam proses mengetahui kesulitan belajar (Cutting & Denckla, 2003; Jensen, 2000, 2008; Willis, 2008). IPM bukan satu-satunya cara untuk menggambarkan pembelajaran, tetapi itu adalah cara yang berguna untuk berpikir tentang belajar pada anak dengan kesulitan belajar (Sternberg & Grigorenko, 2002; Willingham, 2008).

Menggunakan IPM menunjukkan komponen pembelajaran dan bagaimana mereka dipengaruhi oleh kesulitan belajar. IPM juga memberi kita wawasan langsung tentang strategi yang dapat kita gunakan untuk mendukung pembelajaran siswa. Empat komponen utama (input, pemrosesan, output, dan fungsi eksekutif) beroperasi dalam konteks lingkungan emosional yang mempengaruhi pemrosesan informasi. Setiap komponen menjalankan fungsi penting yang berkaitan dengan pembelajaran, dan pembelajaran yang optimal terjadi ketika komponen berfungsi dengan lancar, sebagai satu sistem. Kesulitan belajar dapat dijelaskan sebagai kesalahan dalam sistem. Mari kita lihat setiap komponen dan jelajahi apa arti kesulitan bagi siswa.

 

Model Proses Informasi

L.     Lingkungan (prasarana/sarana) yang cocok (accecible) bagi Anak dengan Kesulitan Belajar

 

Berdasarkan hasil Peneliti Fisher dan Goodley mengemukakan   bahwa disabilitas pada hal yang berfokus pada model rendahnya  kemampuan dan pembelajaran atau dikotomisasi antara yang  bisa  belajar dan yang  tidak bisa belajar (Fisher & Goodley, 2007; Goodley & Tregaskis, 2006). Kemudian Sebagaimana dalam penelitian Roger menarasikan bahwa masalah kesulitan belajar dapat  mengakibatkan  persepsi negatif terhadap keluarga dengan anak (Rogers, 2007) dan orang tua  yang dapat mendorong  anak untuk memiliki disabilitas (Hewitt & Clarke, 2016).

Lebih lanjut studi ini  menyarankan bahwa  hal seputar disabilitas tidak hanya mengklasifikasikan pada siswa akan tetapi juga berhubungan dengan keluarga, yang disebut juga 'keluarga cacat' (Rogers, 2007) hal ini menejelaskan bahwa anak dengan kesulitan belajar dapat dipengaruhi juga oleh keadaan keluarganya. Dalam penelitiannya  MacLeod dkk. (2017) mengemukakan bahwa para profesional pendidikan sering memiliki pandangan negatif tentang disabilitas dan keluarga, sehingga menurutnya dianjurkan peningkatan dalam kemitraan keluarga-sekolah, sehingga hal yang pokok juga perlukan adanya kesamaan pandangan antara sekolah dan keluarga. Hasil Temuan dari penelitian ini menggambarkan terdapat perbedaan pandangan  yang dimiliki keluarga terhadap partisipasi sekolah dalam mendidik anak-anak mereka. Karena  orang tua merasa bahwa menerima bantuan  pendidikan  di sekolah dapat bermanfaat dan menjadi pendorong  bagi sebagian orang tua untuk dapat mengklasifikasikan keadaan  anaknya, hal ini menunjukan  diperlukan eksplorasi lebih lanjut tentang dinamika perang  orang tua dan sekolah  dalam proses klasifikasi tersebut.

Bidang lain dari penelitian lebih lanjut adalah gagasan tentang identifikasi diri penyandang disabilitas. Terdapat bukti dari penelitian ini bahwa orang tua mengidentifikasi dirinya sebagai penyandang disabilitas. Orang tua ini mencatat bahwa mereka tidak diidentifikasi dalam kriteria  tertentu. Dalam  penelitian ini difokuskan pada persepsi keluarga dalam penelitian ini, maka orang tua yang mengidentifikasikan diri dengan disabilitas dimasukkan ke dalam kelompok Parent-Child. Kemudian  untuk kelompok orang tua yang  telah  dapat memberikan lebih banyak wawasan tentang disabilitas dalam konteks hubungan sosial dan budaya, mungkin karena orang tua telah memanfaatkan sumber daya  untuk mencari tanda-tanda disabilitas bagi diri mereka sendiri dan anak-anak mereka.

Akhirnya,  para peneliti telah mengakui telah terjadi identifikasi yag  berlebihan dan perlunya peningkatan individu ke dalam pendidikan khusus (Conrad, 2008; Vellutino et al., 2004). Terlepas dari ini, memang masih sedikit penelitian berskala besar telah melibatkan individu yang memiliki ketidakmampuan belajar hingga dewasa saat mereka menjadi orang tua saat ini. Seperti yang dicontohkan dalam karya McDermott (1996) dan Taylor (1991), dalam penelitian yang  difokuskan pada momen-momen tertentu selama proses identifikasi dan klasifikasi, dengan sedikit perhatian pada dampak kognitif, sosial, dan budaya dalam jangka panjang .  Lebih banyak perhatian perlu diberikan pada bagaimana anggota keluarga yang telah mengidentifikasi dapat juga mempengaruhi keluarga dan profesional pendidikan dalam memahami konsep ketidakmampuan belajar  yang dapat berpengaruh terhadap  perencanaan pendidikan yang berdampak bagi anak-anak mereka  seumur hidup (Kabuto, 2020).

Faktor eksternal yang berpengaruh terhadap anak dengan kesulitan belajar, dikelompokkan menjadi tiga faktor, yaitu: faktor keluarga, faktor sekolah, dan faktor lingkungan sosial lainnya.

1.       Faktor Keluarga

Keluarga merupakan pusat pendidikan yang utama dan pertama. Tetapi dapat juga sebagai faktor penyebab kesulitan belajar. Orang tua yang tidak atau kurang memperhatikan pendidikan anak-anaknya mungkin acuh-tak acuh, tidak memperhatikan kemajuan anak-anaknya akan menjadi penyebab kesulitan belajarnya. Sifat hubungan antara orang tua dan anak sering dilupakan. Faktor ini penting sekali dalam menentukan kemajuan belajar anak. Yang dimaksud hubungan adalah kasih sayang penuh pengertian atau kebencian, sikap keras, acuh tak acuh, dan memanjakan. Suasana yang sangat ramai atau gaduh pun tidak mungkin anak dapat belajar dengan baik. Anak akan selalu terganggu konsentrasinya, sehingga sukar untuk belajar. Demikian juga suasana rumah yang selalu tegang, selalu banyak cekcok diantara anggota keluarga selalu ditimpa kesedihan, antara ayah dan ibu selalu cekcok atau selalu membisu akan mewarnai suasana keluarga yang melahirkan anak-anak yang tidak sehat mentalnya.

2.       Faktor  Sekolah

Guru dapat menjadi penyebab kesulitan belajar apabila, Guru tidak berkualitas, baik dalam pengambilan metode yang digunakan, atau dalam mata pelajaran yang diampunya. Hubungan Guru dan Siswa yang tidak harmonis, dan Guru tidak memiliki kecakapan dalam usaha diagnosis kesulitan belajar. Selain penyebab kesulitan belajar dari Guru kondisi sarana dan prasarana juga dapat mempengaruhi kemampuan belajar siswa. Seperti media belajar yang terbatas, penataan kelas yang tidak sesuai dan pendukung sekolah yang lainnya.

3.       Faktor Lingkungan Sosial

Faktor lingkungan sosial yang berpengaruh terhadap terjadinya kesulitan belajar pada anak. Lingkungan yang tidak mendukung pada kegiatan belajar akan semakin memperparah kesulitan belajar anak. dalam konteks sosial saat ini adalah misalnya penggunaan media internet yang berlebihan, pergaulan dengan teman yang memiliki potensi yang kurang dalam akademik, dan lingkungan sosial yang kurang mendukung pada proses belajar. Seharusnya anak dengan kesulitan belajar mendapatkan dukungan dari lingkungan yang kondusif dan dapat menstimulasi kemampuannya.

M.   Peralatan/media khusus untuk membantu Anak dengan Kesulitan Belajar dalam belajar atau kehidupan

Salah satu bentuk layanan belajar bagi anak berkebutuhan khusus adalah pemberian treatment agar kesulitan dan hambatan belajar yang dialami siswa berkebutuhan khusus dapat diatasi. Harapannya adalah melalui layanan belajar yang tepat siswa yang berkebutuhan khusus dapat mengembangkan secara optimal potensi yang ada pada dirinya. Terdapat berbagai macam treatment yang dapat dilakukan untuk mengatasi kesulitan belajar pada anak disleksia, salah satunya adalah dengan penggunaan media sebagai alat bantu belajar. Peranan media sangat penting dalam pembelajaran mengingat media dapat bermanfaat untuk membantu menyampaikan informasi dari pembelajar kepada subjek ajar secara efektif. Terlebih lagi dengan diterapkannya kurikulum 2013 pembelajaran lebih ditekankan pada metode dan media. Pembelajaran konvensional yang identik dengan metode ceramah mulai ditinggalkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang menyatakan bahwa di era globalisasi dan informasi penggunaan media pembelajaran tidak hanya sekedar tuntutan tetapi juga merupakan sebuah kebutuhan. Pembelajaran di era ini hendaknya mengedepankan metode pembelajaran yang mengarah pada keterampilan abad 21.

Penggunaan media dalam pembelajaran disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing lingkungan belajar. Aspek yang tidak kalah penting sebagai bahan pertimbangan pemilihan media pembelajaran adalah usia subjek belajar, dalam hal ini adalah siswa. Media pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik anak sekolah dasar adalah media gambar. Hal ini harus disesuaikan dengan kondisi psikologis siswa Sekolah Dasar yang pada umumnya menyukai dengan hal-hal yang konkrit. (Widodo et al., 2020).

Penggunaan media berbasis digital atau penerapan teknologi juga dapat menjadi pertimbangan untuk membantu memberikan kemudahan pada anak dengan kesulitan belajar. Seperti penelitian yang dilakukan (Pirani et al., 2013) Software developers, designers and researchers have been looking towards various e-learning frameworks for solutions to help and educate students with learning disabilities. But none are available to fulfill the needs of learning disabilities students. So with the proposed elearning framework specifically designed for learning disabilities students, the aim is to overcome their learning difficulties from academically point of view. This framework will be further enhanced to cover all the physical and sensory limitations accompanied by learning disabilities students. Dalam penelitian tersebut dilakukan pengembangan dan rancangan software untuk memberikan solusi dalam membantu dan mendidik siswa dengan kesulitan belajar.

Berkaitan dengan penerapan teknologi juga digagas oleh peneliti (Al-Dababneh & Al-Zboon, 2020) The use of AT for children with SLD who are learning in inclusive schools holds great promise. Research shows that improvements in reading, writing, spelling and maths difficulties are possible when there is appropriate implementation of these devices, and teachers who have positive beliefs and adequate training regard ing AT are employed. This research concluded that teachers of children with SLD who learn in inclusive schools believe in the importance of employing and integrating AT in the teaching pro cess. However, it was revealed that participants use simple AT tools, so it can be concluded that increased training and resource availability would prompt further implementation of AT. Research has also indicated that teachers expressed optimism that more recently educated teachers would be better prepared to imple ment AT.  Hal yang menarik dari hasil Penelitian ini adalah Penggunaan alat bantu teknologi untuk anak-anak spesifik learning disability yang belajar di sekolah inklusif sangat menjanjikan . Penelitian menunjukkan bahwa peningkatan dalam kesulitan membaca, menulis, mengeja, dan matematika dimungkinkan bila ada penerapan yang tepat dari perangkat ini, dan guru yang memiliki keyakinan positif dan pelatihan yang memadai terkait alat bantu teknologi dipekerjakan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa guru anak spesifik learning disability yang belajar di sekolah inklusif percaya akan pentingnya penggunaan dan integrasi alat bantu teknologi dalam proses pengajaran. Namun juga terungkap bahwa peserta menggunakan alat bantu teknologi yang sederhana, sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan pelatihan dan ketersediaan sumber daya akan mendorong penerapan alat bantu teknologi lebih lanjut. Penelitian juga menunjukkan bahwa para guru mengungkapkan optimisme bahwa lebih banyak guru yang berpendidikan akhir-akhir ini akan lebih siap untuk menerapkan alat bantu teknologi. 

Adapun media lain yang bisa digunakan beserta kegunaannya untuk anak kesulitan belajar adalah sebagai berikut:

1.       Alat terapi breathing duration. Kegunaanya adalah sebagai tanda visual terhadap peningkatan control aliran nafas.

2.       Alat terapi sabuk konsentarasi. Alat ini digunakan oleh guru untuk anak yang mengalami susah duduk, untuk mengurangi lemak, bagi anak yang kelelahan duduk atau keram bisa diterapi dengan alat ini.

3.       Alat terapi wicara talk tool. Terapi wicara bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berbicara dan berbahasa lewat mulut.

4.       Alat terapi audio visual mini led proyektor.

5.       Alat terapi konsentrasi. Salah satu alat konsentrasi yang digunakan adalah puzzel. Puzzle di gunakan untuk melatih konsentrasi anak.

6.       Papan twister. Permainan motorik ini cocok untuk mengembalikan keceriaan dan semangat untuk beraktivitas lagi.

7.       Meja terapi T stool. Meja terapi ini 1 set terdiri dari meja dan kursi, biasanya digunakan untuk terapi anak seperti terapi wicara, terapi perilaku, okupasi terapi, pedagogi. Meja terdapat lengkungan buat mengunci agar anak hiperaktif lebih mudah diarahkan, terutama saat latihan makan, menulis.

8.       Ring basket. Digunakan untuk melatih motorik anak dan melatih tingkat konsentrasi anak. Anak diajak agar bisa fokus sehingga dapat memasukan bola kedalam ring.

9.       Karet jari lentur. Digunakan guru untuk menstimulasi syaraf gerak pada ajari siswa (Sidiq et al., 2020).

N.    Research (hasil penelitian) tentang Anak dengan Kesulitan Belajar

Terdapat banyak penelitian yang mengkaji tentang anak dengan kesulitan belajar, diantaranya:

1.      Researchers have argued that there is a master narrative on disabilities that focuses on deficit models of ability and learning or on dichotomization of those who can and those who cannot learn (Fisher & Goodley, 2007; Goodley & Tregaskis, 2006). As researchers argue, this master narrative can generate negative perceptions of families with children (Rogers, 2007) and parents determined to have disabilities (Hewitt & Clarke, 2016). This study supports this body of research to suggest that narratives around disabilities do not merely classify students—they also ‘disable families’ (Rogers, 2007). MacLeod et al. (2017) suggested that educational professionals often hold a negative view of disability and families and argued for improved family-school partnerships that can interrupt this deficit oriented master narrative. Findings from this study illustrate the varying views that families have on their schools’ participation on behalf of their children’s education. Because parents felt that receiving educational accommodations was a benefit and became a driving force for some parents to classify their children, further exploration into the parent and school dynamics within the classification process is needed. Another area of further research is the idea of self-identification of having disabilities. There is evidence from this study that parents self-identified as having a disability. These parents noted that they were not identified in any particular setting. Because this study focused on the perceptions of the families in this study, parents who self-identified with a disability were included in the Parent-Child group. This group of parents may provide more insight into the socially and culturally driven nature of disabilities, as parents may have drawn upon resources to search out signs of disabilities for themselves and their children. Finally, researchers have acknowledged the over-identification and increase in individuals into special education (Conrad, 2008; Vellutino et al., 2004). In spite of this, there is little large-scaled research that follows individuals determined to have learning disabilities into adulthood as they become parents. As exemplified in the works of McDermott (1996) and Taylor (1991), research has focused on particular moments during the identification and classification process, with little attention to the long term cognitive, social, and cultural impacts. More attention needs to be placed on how family members who have been identified impact how families and educational professionals understand the concept of learning disabilities, which may influence educational planning that have repercussions for their children for a lifetime (Kabuto, 2020). Berdasarkan hasil Peneliti Fisher dan Goodley mengemukakan   bahwa disabilitas pada hal yang berfokus pada model rendahnya  kemampuan dan pembelajaran atau dikotomisasi antara yang  bisa  belajar dan yang  tidak bisa belajar (Fisher & Goodley, 2007; Goodley & Tregaskis, 2006). Kemudian Sebagaimana dalam penelitian Roger menarasikan bahwa masalah kesulitan belajar dapat  mengakibatkan  persepsi negatif terhadap keluarga dengan anak (Rogers, 2007) dan orang tua  yang dapat mendorong  anak untuk memiliki disabilitas (Hewitt & Clarke, 2016). Lebih lanjut studi ini  menyarankan bahwa  hal seputar disabilitas tidak hanya mengklasifikasikan pada siswa akan tetapi juga berhubungan dengan keluarga, yang disebut juga 'keluarga cacat' (Rogers, 2007)  hal ini menejelaskan bahwa anak dengan kesulitan belajar dapat dipengaruhi juga oleh keadaan keluarganya. Dalam penelitiannya  MacLeod dkk. (2017) mengemukakan bahwa para profesional pendidikan sering memiliki pandangan negatif tentang disabilitas dan keluarga, sehingga menurutnya dianjurkan peningkatan dalam kemitraan keluarga-sekolah, sehingga hal yang pokok juga perlukan adanya kesamaan pandangan antara sekolah dan keluarga. Hasil Temuan dari penelitian ini menggambarkan terdapat perbedaan pandangan  yang dimiliki keluarga terhadap partisipasi sekolah dalam  mendidik anak-anak mereka. Karena  orang tua merasa bahwa menerima bantuan  pendidikan  di sekolah dapat bermanfaat dan menjadi pendorong  bagi sebagian orang tua untuk dapat mengklasifikasikan keadaan  anaknya, hal ini menunjukan  diperlukan eksplorasi lebih lanjut tentang dinamika perang  orang tua dan sekolah  dalam proses klasifikasi tersebut. Bidang lain dari penelitian lebih lanjut adalah gagasan tentang identifikasi diri penyandang disabilitas. Terdapat bukti dari penelitian ini bahwa orang tua mengidentifikasi dirinya sebagai penyandang disabilitas. Orang tua ini mencatat bahwa mereka tidak diidentifikasi dalam kriteria  tertentu. Dalam  penelitian ini difokuskan pada persepsi keluarga dalam penelitian ini, maka orang tua yang mengidentifikasikan diri dengan disabilitas dimasukkan ke dalam kelompok Parent-Child. Kemudian  untuk kelompok orang tua yang  telah  dapat memberikan lebih banyak wawasan tentang disabilitas dalam konteks  hubungan sosial dan budaya, mungkin karena orang tua telah memanfaatkan sumber daya  untuk mencari tanda-tanda disabilitas bagi diri mereka sendiri dan anak-anak mereka. Akhirnya,  para peneliti telah mengakui telah terjadi identifikasi yag  berlebihan dan perlunya peningkatan individu ke dalam pendidikan khusus (Conrad, 2008; Vellutino et al., 2004). Terlepas dari ini, memang masih sedikit penelitian berskala besar telah  melibatkan individu  yang memiliki ketidakmampuan belajar hingga dewasa saat mereka menjadi orang tua saat ini. Seperti yang dicontohkan dalam karya McDermott (1996) dan Taylor (1991), dalam penelitian yang  difokuskan pada momen-momen tertentu selama proses identifikasi dan klasifikasi, dengan sedikit perhatian pada dampak kognitif, sosial, dan budaya dalam jangka panjang .  Lebih banyak perhatian perlu diberikan pada bagaimana anggota keluarga yang telah mengidentifikasi dapat juga mempengaruhi keluarga dan profesional pendidikan dalam memahami konsep ketidakmampuan belajar  yang dapat berpengaruh terhadap  perencanaan pendidikan yang berdampak bagi anak-anak mereka  seumur hidup.

2.      Penelitian yang dilakukan (Pirani et al., 2013) Software developers, designers and researchers have been looking towards various e-learning frameworks for solutions to help and educate students with learning disabilities. But none are available to fulfill the needs of learning disabilities students. So with the proposed elearning framework specifically designed for learning disabilities students, the aim is to overcome their learning difficulties from academically point of view. This framework will be further enhanced to cover all the physical and sensory limitations accompanied by learning disabilities students. Dalam penelitian tersebut dilakukan pengembangan dan merancang software untuk memberikan solusi dalam membantu dan mendidik siswa dengan kesulitan belajar. Pengembang perangkat lunak, perancang, dan peneliti telah mencari berbagai kerangka kerja e-learning sebagai solusi untuk membantu dan mendidik siswa dengan ketidakmampuan belajar. Tetapi tidak ada yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan siswa dengan ketidakmampuan belajar. Jadi dengan kerangka kerja elearning yang dirancang khusus untuk siswa dengan ketidakmampuan belajar, tujuannya adalah untuk mengatasi kesulitan belajar mereka dari sudut pandang akademis. Kerangka kerja ini akan lebih ditingkatkan untuk mencakup semua keterbatasan fisik dan indera yang disertai dengan siswa ketidakmampuan belajar.

3.      The use of AT for children with SLD who are learning in inclusive schools holds great promise. Research shows that improvements in reading, writing, spelling and maths difficulties are possible when there is appropriate implementation of these devices, and teachers who have positive beliefs and adequate training regard ing AT are employed. This research concluded that teachers of children with SLD who learn in inclusive schools believe in the importance of employing and integrating AT in the teaching pro cess. However, it was revealed that participants use simple AT tools, so it can be concluded that increased training and resource availability would prompt further implementation of AT. Research has also indicated that teachers expressed optimism that more recently educated teachers would be better prepared to imple ment AT (Al-Dababneh & Al-Zboon, 2020).  Hal yang menarik dari hasil Penelitian ini adalah Penggunaan alat bantu teknologi untuk anak-anak spesifik learning disability yang belajar di sekolah inklusif sangat menjanjikan . Penelitian menunjukkan bahwa peningkatan dalam kesulitan membaca, menulis, mengeja, dan matematika dimungkinkan bila ada penerapan yang tepat dari perangkat ini, dan guru yang memiliki keyakinan positif dan pelatihan yang memadai terkait alat bantu teknologi dipekerjakan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa guru anak spesifik learning disability yang belajar di sekolah inklusif percaya akan pentingnya penggunaan dan integrasi alat bantu teknologi dalam proses pengajaran. Namun juga terungkap bahwa peserta menggunakan alat bantu teknologi yang sederhana, sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan pelatihan dan ketersediaan sumber daya akan mendorong penerapan alat bantu teknologi lebih lanjut. Penelitian juga menunjukkan bahwa para guru mengungkapkan optimisme bahwa lebih banyak guru yang berpendidikan akhir-akhir ini akan lebih siap untuk menerapkan alat bantu teknologi. 

4.      As a result of our study, we found that MVPT-3 and MVPT-4 tests gave statistically similar results in the evalu ation of visual perception processes and distinguishing between the performance of children with SLD and those with normal development. It has also been found that the application of MVPT-3 is much easier in terms of clinical applicability, more understandable and takes considerably shorter time in 7-10 years of children with SLD and those with typical development. What’s more, MVPT-3 test was found to be more fun for children and a highly motivating assessment tool. According to the clinical decision-making standards pub lished by the American Association of Psychologists (APA), it is important to periodically update the tests used for clin ical diagnosis or evaluation, identify the emerging problems and include all existent groups in the changing society. When the test updates in the literature were taken into con sideration, it was seen that the tests showed similar charac teristics, more people were included in the newly developed tests and norm values were examined (S. S. J. T. C. N. Bush, 2010; Chan, 2014; Fisher, Johnson-Greene, & Barth, 2002; GE, 1992) (Köse et al., 2019). Hasil penelitian yang selanjutnya telah ditemukan tes MVPT-3 dan MVPT-4 memberikan hasil yang sama secara statistik dalam evaluasi proses persepsi visual dan membedakan antara kinerja anak-anak dengan spesifik learning disability dan mereka dengan perkembangan normal. Juga telah ditemukan bahwa penerapan MVPT-3 jauh lebih mudah dalam hal penerapan klinis, lebih dapat dimengerti dan membutuhkan waktu yang lebih singkat pada 7-10 tahun anak-anak dengan spesifik learning disability dan mereka dengan perkembangan yang khas. Terlebih lagi, tes MVPT-3 ternyata lebih menyenangkan untuk anak-anak dan alat penilaian yang sangat memotivasi. Menurut standar pengambilan keputusan klinis yang diterbitkan oleh American Association of Psychologists (APA), penting untuk memperbarui secara berkala tes yang digunakan untuk diagnosis atau evaluasi klinis, mengidentifikasi masalah yang muncul dan memasukkan semua kelompok yang ada dalam masyarakat yang berubah. Ketika pembaruan tes dalam literatur menjadi pertimbangan, terlihat bahwa tes menunjukkan karakteristik yang sama, lebih banyak orang dimasukkan dalam tes yang baru dikembangkan dan nilai-nilai norma yang diperiksa (SSJTCN Bush, 2010; Chan, 2014; Fisher, Johnson-Greene, & Barth, 2002; GE, 1992).

5.      Social-emotional learning programmes can be effective for typically-developing children and young people in improving their social-emotional skills. This systematic literature review, evaluating peer-reviewed literature from 2007 to 2018, investigated whether these programmes are also effective for children and young people with learning disabilities. The review found preliminary evidence of feasi-bility but little evidence of the effectiveness of combined social-emotional learning programmes. Play-based and social skills programmes, based on behavioural psychology and social learning theory show some evidence of effectiveness in improving the social skills of children and young people with learning disabilities. Future research needs to use more rigorous designs including larger samples, random assignment, robust measures and fidelity measures, or carry out studies with well-conducted Single Case Experimental Designs (Hagarty & Morgan, 2020).  Hasil penelitian yang selanjutnya adalah mengenai Program pembelajaran sosial-emosional dapat efektif untuk perkembangan anak-anak dan remaja dalam meningkatkan keterampilan sosial emosional mereka. Dengan metode  Tinjauan pustaka sistematis ini dan mengevaluasi literatur tinjauan sejawat mulai dari 2007 hingga 2018. Adapun masalah utamanya  menyelidiki apakah program ini juga efektif untuk anak-anak dan remaja dengan disabilitas. ditemukan bukti awal telah layak tetapi sedikit bukti efektivitas program gabungan pembelajaran sosial emosional. Melalui  program keterampilan berbasis bermain dan sosial, yang didasari oleh teori psikologi perilaku dan pembelajaran sosial menunjukkan beberapa dapat dibuktikan  secara efektif dapat  meningkatkan keterampilan sosial anak-anak dan remaja dengan anak yang disabilitas. Dalam penelitian ini pun disarankan bahwa penelitian di masa depan perlu menggunakan desain yang lebih ketat termasuk sampel yang lebih besar, tugas acak, pengukuran yang kuat dan ketepatan pelaksanaan penelitian dengan menggunakan Desain Eksperimental Kasus Tunggal dapat dilakukan dengan baik. 

 

 



BAB III

SIMPULAN

 

 

Kesulitan belajar merupakan suatu kondisi dimana anak mengalami kesulitan untuk memahami atau menerima pembelajaran yang disebabkan oleh gangguan saraf pusat (otak). Sehingga anak mengalami gangguan yang mempengaruhi kemampuan untuk melakukan interpretasi apa yang dilihat dan didengar atau mendapat informasi dari bagian otak yang berbeda. Beberapa gangguan dapat mempengaruhi kegiatan belajar di sekolah berupa gangguan belajar dalam menulis, membaca atau mengerjakan matematika.

Banyak langkah diagnostik yang dapat ditempuh guru, antara lain (1) Melakukan observasi kelas; (2) Memeriksa penglihatan dan pendengaran siswa; (3) Mewawancarai orang tua; (4) Memberikan tes diagnostik bidang kecakapan tertentu; (4) Memberikan tes kemampuan intelegensi (IQ). Untuk mengambil Alternatif mengatasi kesulitan belajar terlebih dahulu melakukan beberapa langkah penting meliputi: Menganalisis hasil diagnosis, menentukan bidang kecakapan tertentu yang memerlukan perbaikan, Menyusun program perbaikan. Setelah langkah-langkah di atas selesai, barulah pendidik melaksanakan langkah keempat, yakni melaksanakan program perbaikan.

Salah satu bentuk layanan belajar bagi anak berkebutuhan khusus adalah pemberian treatment agar kesulitan dan hambatan belajar yang dialami siswa berkebutuhan khusus dapat diatasi. Harapannya adalah melalui layanan belajar yang tepat siswa yang berkebutuhan khusus dapat mengembangkan secara optimal potensi yang ada pada dirinya. Terdapat berbagai macam treatment yang dapat dilakukan untuk mengatasi kesulitan belajar pada anak disleksia, salah satunya adalah dengan penggunaan media sebagai alat bantu belajar. Peranan media sangat penting dalam pembelajaran mengingat media dapat bermanfaat untuk membantu menyampaikan informasi dari pembelajar kepada subjek ajar secara efektif. Media berbasis digital atau pemanfaatan teknologi pun dapat menjadi solusi dalam pembelajaran.


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Mulyono. (2012). Anak Berkesulitan Belajar: Teori, Daignosis, dan Remediasinya.Jakarta: Rineka Cipta.

Al-Dababneh, K. A., & Al-Zboon, E. K. (2020). Using assistive technologies in the curriculum of children with specific learning disabilities served in inclusion settings: teachers’ beliefs and professionalism. Disability and Rehabilitation: Assistive Technology, 0(0), 1–11. https://doi.org/10.1080/17483107.2020.1752824

Hagarty, I., & Morgan, G. (2020). Social-emotional learning for children with learning disabilities: a systematic review. Educational Psychology in Practice, 36(2), 208–222. https://doi.org/10.1080/02667363.2020.1742096

Kabuto, B. (2020). Parental Perceptions of Learning Disabilities. Educational Forum, 84(3), 242–257. https://doi.org/10.1080/00131725.2020.1737997

Kirk, S., Gallagher, J. J., Coleman, M. R., & Anastasiow, N. (2009). Children Who Are Deaf or Hard of Hearing. In Educating Exeptional Children.

Köse, B., Karabulut, E., & Akı, E. (2019). Investigating the interchangeability and clinical utility of MVPT-3 and MVPT-4 for 7–10 year children with and without specific learning disabilities. Applied Neuropsychology: Child, 0(0), 1–8. https://doi.org/10.1080/21622965.2019.1681270

Ontario Rusmono, D. (2019). Penanganan Bagi Siswa Dengan Learning Disability Yang Dapat Dilakukan Oleh Orang Tua Dan Guru : LITERATURE REVIEW Danny Ontario Rusmono. JKKP: Jurnal Kesejahteraan Keluarga Dan Pendidikan, 6(02), 133–140. https://doi.org/doi.org/10.21009/JKKP.062.08

Pengembangan, D., Guru, K., Dinas, P. L. B., Diy, D., & Yogyakarta, H. S. (2011). Materi ini disampaikan pada Diklat Pengembangan Kompetensi Guru SLB non PLB DINAS DIKPORA DIY 26-31 Maret 2011 di Hotel Syailendra Yogyakarta.


Pirani, Z., Molvizadah, V., Abbas Sayyed, M., & M., S. (2013). E-Learning Framework for Learning Disabled Children. International Journal of Computer Applications, 63(19), 38–42. https://doi.org/10.5120/10577-5703

Sa ’adati, T. I. (n.d.). Intervensi Psikologis Pada Siswa Dengan Kesulitan Belajar (Disleksia, Disgrafia Dan Diskalkulia). 13–37.

Sidiq, D. A. N., Fakhriyah, F., & Masfuah, S. (2020). Progres pendidikan. Progres Pendidikan, 1(September), 99–105.

Suharmini. (2007). Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Depdiknas.

Suryandari, S. (2020). Jurnal inovasi pendidikan dasar. Jurnal Inovasi Pendidikan Dasar, 4(1), 23–29.

Widodo, A., Indraswati, D., & Royana, A. (2020). Analisis Penggunaan Media Gambar Berseri Untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Siswa Disleksia Di Sekolsh Dasar. MAGISTRA: Media Pengembangan Ilmu Pendidikan Dasar Dan Keislaman, 11(1), 1. https://doi.org/10.31942/mgs.v11i1.3457

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar